Selamat siang,
Siang ini, aku sedang duduk di meja sakralku dan membuka ingatan
tentangmu. Tentang kita. Seperti yang kau tau, aku gemar sekali mengingatmu.
Jika ada waktu, aku selalu menyempatkan diri untuk mengingatmu walau sedetik
saja. Mengingatmu, entah mengapa membuat senyum dihatiku.
Dan siang ini, ada ingatan yang hendak aku putar kembali tentang kita di
sini. Tak apa ya, aku menuliskannya langsung pada bagian yang aku suka. Karena aku begitu senang mengingat bagian ini
yaitu pada saat pertemuan kita. Ya, semoga kau tak keberatan.
Tentu kau masih ingat, betapa kita berdua kemudian serupa adam dan hawa
yang baru dipertemukan kembali oleh Tuhan setelah dipisahkan dari surga selama
beribu-ribu tahun. Saling berbagi cerita tentang dunia yang kita arungi sebelum
akhirnya kita bertemu.
Meski obrolan kita terasa canggung diawal pertemuan, tapi jelas baik aku maupun kau tak ada yang ingin berpisah. Entahlah, bersamamu membuat dada ini merasakan lagi hangat cinta. Bersamamu membuat aku merasa hidup kembali dari mati suriku. Aku betah dan tak ingin pergi menjauh. Barangkali begitu juga denganmu. Barangkali.
Tapi ada alasan kuat penuh dengan abu-abu yang mengharuskan kita untuk
kembali berpisah. Kita? maksudku, kau kemudian menyadari sepenuhnya jika pertemuan
ini tak boleh terjad lagi. Kemudian kau meminta agar kita berusaha saling
berlari menjauh dan mulai saling melupakan. Baiklah, kuturuti maumu. Aku
berusaha berlari menjauh sekuat tenaga seperti maumu, meski tetap aku rasakan
ada rantai pemberat di kaki yang membuatku sia-sia berusaha melarikan diri
darimu.
Dan setelah sekian lama berusaha, aku tau kau berhasil melakukannya.
Kulihat kau baik-baik saja setelah perpisahan itu. Bahkan kau nampak bahagia dengan
jarak yang curam ini. Sementara aku, masih terseok-seok menjalani hari-hari
menyiksa perpisahan kita. Termangu. Meringkuk mengasihani nasib sambil membiarkan
hujan jatuh dan memburamkan kedua jendela mataku.
Berbeda denganku, kau rupanya berusaha lebih baik dari aku. Kau memilih
menyingkirkan kenangan, menghapusnya meski dulu kau pernah memahatnya demikian
indah di dinding hatimu.
Tak pernah sedikit pun kau mengatakan perasaanmu tentang cinta atau pun
rindu seperti yang masih demikian nyeri aku rasakan ketika kenangan-kenangan
tentang kita melintasi ingatan.
Tapi jika kau menyangka tak ada lagi cinta yang aku rasakan, tak pernah
ada luka yang tercipta karena perpisahan, dan menyangka waktu telah menyembuhkan
segalanya, kau keliru Tuan.
Aku tak pernah bisa sepertimu. Adalah aku, yang berpura-pura jika selama
ini aku baik-baik saja. Adalah aku, yang berpura-berpura tak pernah ada luka
dan seolah waktu telah menyembuhkan segalanya. Itu ku lakukan agar kau bahagia.
Agar kau tak lagi merentangkan jarak terlalu lebar di antara kita. Agar tegur
sapa yang selama ini telah terjalin lama-lama tak pupus oleh satu kata yang
kita sebut perpisahan.
Berkali-kali tanya singgah di hatiku, apa kau memiliki rasa yang sama
seperti aku? Apa kau sering membohongi diri sendiri dan diam saja ditusuk-tusuk
sepi? Apa kau tetap memilih tak mempercayai cinta yang diam-diam masih
mencengkram di hatimu erat-erat? Entahlah.
Tuan, demikianlah aku mengingatmu. Dan tau kah kau, apa yang aku
pikirkan sekarang? Dalam tiga puluh sembilan hari terakhir sejak aku terakhir
kali melihatmu dan kau melihatku. Pernah kah kau mengingat aku?
Laweyan, Solo.
Senin, 16 Feb 2015 11:41
WIB