Minggu, 15 Februari 2015

Sudah mengingatku berapa kali, Tuan?




Selamat siang,
Siang ini, aku sedang duduk di meja sakralku dan membuka ingatan tentangmu. Tentang kita. Seperti yang kau tau, aku gemar sekali mengingatmu. Jika ada waktu, aku selalu menyempatkan diri untuk mengingatmu walau sedetik saja. Mengingatmu, entah mengapa membuat senyum dihatiku.
Dan siang ini, ada ingatan yang hendak aku putar kembali tentang kita di sini. Tak apa ya, aku menuliskannya langsung pada bagian yang aku suka. Karena aku begitu senang mengingat bagian ini yaitu pada saat pertemuan kita. Ya, semoga kau tak keberatan.
Tentu kau masih ingat, betapa kita berdua kemudian serupa adam dan hawa yang baru dipertemukan kembali oleh Tuhan setelah dipisahkan dari surga selama beribu-ribu tahun. Saling berbagi cerita tentang dunia yang kita arungi sebelum akhirnya kita bertemu.

Meski obrolan kita terasa canggung diawal pertemuan, tapi jelas  baik aku maupun kau tak ada yang ingin berpisah. Entahlah, bersamamu  membuat dada ini merasakan lagi hangat cinta. Bersamamu membuat aku merasa hidup kembali dari mati suriku. Aku betah dan tak ingin pergi menjauh. Barangkali begitu juga denganmu. Barangkali.

Tapi ada alasan kuat penuh dengan abu-abu yang mengharuskan kita untuk kembali berpisah. Kita? maksudku, kau kemudian menyadari sepenuhnya jika pertemuan ini tak boleh terjad lagi. Kemudian kau meminta agar kita berusaha saling berlari menjauh dan mulai saling melupakan. Baiklah, kuturuti maumu. Aku berusaha berlari menjauh sekuat tenaga seperti maumu, meski tetap aku rasakan ada rantai pemberat di kaki yang membuatku sia-sia berusaha melarikan diri darimu.
Dan setelah sekian lama berusaha, aku tau kau berhasil melakukannya. Kulihat kau baik-baik saja setelah perpisahan itu. Bahkan kau nampak bahagia dengan jarak yang curam ini. Sementara aku, masih terseok-seok menjalani hari-hari menyiksa perpisahan kita. Termangu. Meringkuk mengasihani nasib sambil membiarkan hujan jatuh dan memburamkan kedua jendela mataku.
Berbeda denganku, kau rupanya berusaha lebih baik dari aku. Kau memilih menyingkirkan kenangan, menghapusnya meski dulu kau pernah memahatnya demikian indah di dinding hatimu.
Tak pernah sedikit pun kau mengatakan perasaanmu tentang cinta atau pun rindu seperti yang masih demikian nyeri aku rasakan ketika kenangan-kenangan tentang kita melintasi ingatan.
Tapi jika kau menyangka tak ada lagi cinta yang aku rasakan, tak pernah ada luka yang tercipta karena perpisahan, dan menyangka waktu telah menyembuhkan segalanya, kau keliru Tuan.

Aku tak pernah bisa sepertimu. Adalah aku, yang berpura-pura jika selama ini aku baik-baik saja. Adalah aku, yang berpura-berpura tak pernah ada luka dan seolah waktu telah menyembuhkan segalanya. Itu ku lakukan agar kau bahagia. Agar kau tak lagi merentangkan jarak terlalu lebar di antara kita. Agar tegur sapa yang selama ini telah terjalin lama-lama tak pupus oleh satu kata yang kita sebut perpisahan.

Berkali-kali tanya singgah di hatiku, apa kau memiliki rasa yang sama seperti aku? Apa kau sering membohongi diri sendiri dan diam saja ditusuk-tusuk sepi? Apa kau tetap memilih tak mempercayai cinta yang diam-diam masih mencengkram di hatimu erat-erat? Entahlah.

Tuan, demikianlah aku mengingatmu. Dan tau kah kau, apa yang aku pikirkan sekarang? Dalam tiga puluh sembilan hari terakhir sejak aku terakhir kali melihatmu dan kau melihatku. Pernah kah kau mengingat aku?

Laweyan, Solo.
Senin, 16 Feb 2015           11:41 WIB


Selasa, 10 Februari 2015

Kamu; Jalan Kenangan



Mau kah kau mengajak aku berjalan-jalan sejenak,
Menyusuri jalan di kota kecilmu,
Yang dulu pernah membuat debar hebat di dada kiri saat kita melaluinya berdua?

Ajak aku menelusuri kembali jalan kenangan itu,
Yang kita lewati dalam diam namun dengan jemari kita saling menggenggam.

Mari kita lihat lagi langit yang kini hitam kelam,
Setiap kali kau lalui seorang diri tanpa aku.

Berkenan kah kau mengajakku?
Jangan sungkan, meski kini jalan masing-masing kita lalui telah berbeda.
Namun kau tau? Hati ini masih saja memiliki rasa yang sama.
Dan bayangmu masih setia aku peluk dalam ingatan.


Rabu, 11 Februari 2015
09:46 WIB

Selasa, 03 Februari 2015

Sepucuk Surat Untuk Mama



Assalamualaikum, Mama…
Sudah lama rasanya tidak berjumpa dengan Mama.
Seorang wanita hebat yang menjadi tempat semangatku menggapai asa.
Seorang wanita yang sangat aku banggakan akan kesabaran hatinya.
Seorang wanita yang selalu aku peluk dengan doa-doa indahku.
Dan aku pun seorang wanita biasa.
Yang tak sepenuhnya mengerti perasaanmu, juga tak sepenuhnya utuh menjadi wanita yang hebat.

Saat pesan yang aku terima, Mama ingin aku kembali berkumpul seperti dahulu.
Beteng air mataku ambruk,
Namun mulutku masih tetap bisu untuk berkata yang sedemikian nyata,
Karena aku tak mau menyakiti hatimu, Mama…

Duhai Mama…
Aku sangat paham dia adalah seorang anak laki-laki yang lahir dari rahim sucimu,
Engkau pertaruhkan hidupmu untuk memilikinya,
Anak kesayanganmu yang sepanjang hidupnya engkau rawat dengan segenap rasa cintamu.

Duhai Mama..
Aku sangat tau, betapa besar rasa cintamu untuknya,
Tangan renta Mama yang mengangkat tubuh mungilnya, menyuapinya, menghapus air matanya dan memeluknya dalam dekapan Mama,
Tapi aku tidak mau merebutnya dari dekapanmu, Mama...


Duhai Mama…
Aku sangat tau betapa bangga engkau memiliki putra sepertinya,
Yang selalu membuatmu tersenyum haru,
Dia yang takkan pernah sekalipun melukai hatimu, Mama…

Ketahuilah Mama…
Aku takkan merebut semua perhatiannya darimu,
keberadaanku, takkan membuatnya berpaling darimu,
Aku takkan merebutnya...
Aku berusaha menjadi penyejuk hatinya,
Karena kelak dia akan datang padaku dalam kegundahan hatinya, untuk mencari kesejukan.
Aku berusaha memberi pelukan yang hangat baginya, karena engkau ingin hatinya selalu hangat dalam dekapku.
Kan ku berikan tutur kata seindah embun,
Karena engkau tak mau dia mendengar kata-kata kasar dalam hidupnya.


Duhai Mama…
Aku ingin menjadi sahabatmu,
Agar kelak, dapat ku curahkan rasaku padamu.
Aku ingin menjadi rekanmu,
Agar kita bisa bersama-sama mencintai lelaki yang sama-sama kita cintai.

Mama...
Aku berharap kau pun akan mencintaiku…
Meski pada akhirnya dunia tidak menerima kesatuan kita.


04 Februari 2015, Rabu

Rabu, 28 Januari 2015

Hidup = Terima & Renungan



Kamis, 29 Januari 2015

Hidup = Terima & Renungan

Terima saja jika hati yang kau perjuangkan sekarang telah dipangkuan orang.
Terima saja jika raga yang kau peluk erat sekarang telah memeluk orang.
Terima saja jika senyum yang kau harapkan sekarang telah dinikmati orang.
Terima saja jika semua yang telah kau usahakan sekarang telah disemogakan orang.
Terima saja…

Ambil nafas panjang, hembuskan pelan…
Ceritakan pada angin, pada langit, pada matahari, pada Tuhan.
Bahwa semua yang pernah kau lakukan telah dilakukan oleh orang yang bersama dia.
Hirup saja aroma bahagianya, rasakan dan ikutlah bahagia.
Tuhan tidak pernah ingkar dengan janji-Nya.
Ambil nafas panjang, hembuskan pelan…
Bersyukurlah waktu pernah mempertemukanmu dengan dia.
Senyumlah yang lebar kenangan manis itu tidak akan pernah menjadi debu yang sia-sia.
Tuhan selalu punya cara agar kau lebih dewasa.
Ambil nafas panjang, hembuskan perlahan…
Renungkanlah,
Bisa jadi orang yang sekarang telah bahagia bersamanya dulunya pernah terluka sepertimu.
Bisa jadi juga orang yang sekarang telah menikmati angin cintanya dulunya pernah berjuang hingga mat-matian.
Bisa jadi pula orang yang sekarang telah diatas puncak istananya dahulunya pernah tersungkur sepertimu.

Hidup itu seperti roda, selalu dan akan tetap berputar hingga Tuhan yang ingin menghentikannya.
Dewasalah dengan segala luka, obatilah dengan selalu berdoa kepada Tuhan.
Karena tidak akan ada yang bisa dibanggakan dengan merebut kebahagiaan orang.
Hanya hati yang tuluslah yang dapat mencintai secara diam-diam.
Teruslah untuk maju dan tunjukan bahwa hidupmu memang berkualitas.
Akui saja semua salahmu, dan bangun untuk manusia yang lebih baik lagi.
Ingat, Tuhan selalu punya takdir yang beralasan.
Terimakasih telah bersedia tinggal dan akhirnya meninggalkan mimpi.


**Dari seseorang yang selalu menganggapmu “UCUP”